MANAJEMEN KONFLIK

 MANAJEMEN KONFLIK
“KONFLIK BUDAYA”

 


BAB I

PENGANTAR & TEORI

 

I.               LATAR BELAKANG

Konflik telah menjadi subjek studi sejak peradaban kuno, dan beberapa pendapat selalu mempertentangkan apakah konflik itu sebagai suatu proses social  yang konstruktif ataukah destruktif.

 

Manajemen konflik menggambarkan sebuah perubahan paradigma dari pendekatan tradisonal yangdidasarkan bahwa konflik harus dilahirkan, dan  ketika konflik muncul maka lebih baik dipecahkan ataupun dihilangkan. Bahkan  Porter-O Grady  berpendapat bahwa konflik sebaiknya dihadapi dari pada ditakuti. Manajemen konflik yang baik adalah cara efektif untuk membantu sebuah keputusan. Manajemen konflik tidak hanya  menyelesaikan masalah, namun ia harus  lebih proaktif.

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.

 

Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku  itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.

 

 

II.            PENGANTAR

Budaya adalah suatu alat yang berguna untuk memahami perilaku manusia di seluruh bumi, juga di negeri kita sendiri. Pandangan mengenai konsep ini terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku manusia (behavoiral science) sosiologi, psikologi dan antropologi. Ilmu sosial tersebut mempelajari dan dan menjalaskan kepada kita bagaimana orang-orang berperilaku, mengapa mereka berperilaku demikian dan apa hubungan antar perilaku manusia dan lingkungan.

 

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan, praktik dan tradisi untuk terus hidup dan berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh setiap faset aktivitas manusia.

 

Individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan oleh budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana kita tinggal, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman budaya ini pada diri kita.

 

Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.

 

Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak akan lenyap dari sejarah. Selama kita masih hidup tidak mungkin kita menghapus konflik dari dunia ini. Baik konflik intrapersonal, interpersonal dan juga konflik antar kelompok merupakan bagian konstitutif dari sejarah manusia. Berbagai macam hal seperti perbedaan selera, perbedaan pendapat dapat mengakibatkan timbulnya konflik. Masalahnya adalah, apabila konflik tersebut kemudia terus berlanjut hingga melahirkan kekerasan.

 

Kekerasan bagi masyarakat indonesia bukanlah sesuatu yang asing. Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah “kekerasan” juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kerusakan harta benda biasanya dianggap masalah kecil dibandingkan dengan kekerasan terhadap orang.

 

Kekerasan pada dasarnya tergolong ke dalam dua bentuk kekerasan sembarang, yang mencakup kekerasan dalam skala kecil atau yang tidak terencanakan, dan kekerasan yang terkoordinir, yang dilakukan oleh kelompok-kelompok baik yang diberi hak maupun tidak seperti yang terjadi dalam perang (yakni kekerasan antar-masyarakat) dan terorisme.

 

Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Sedangkan kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang, oleh karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.

 

Kita tahu bahwa keberagaman budaya dapat menimbulkan konflik dan kerusuhan sosial. Sebenarnya, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah kita dalam mengatasi masalah sosial akibat keberagaman budaya. Ahli-ahli ilmu sosial juga telah memberikan teori-teori pemecahan masalah akibat konflik sosial budaya. Namun pengaruh pemecahan masalah tersebut, tidak langsung dirasakan hasilnya oleh masyarakat.

 

 

III.        TEORI- TEORI

Teori konflik yang muncul pada abad ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Mc Quarrie, 1995: 65). Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).

 

Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.

 

Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (socialdisorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominant. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nila.

 

Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.

 

Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.

 

Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan jugaprestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.

 

Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).

 

Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.

 

 

 


 

BAB II

PEMBAHASAN & PENANGANAN

 

I.              DEFINISI KONFLIK MENURUT PARA TOKOH

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.

 

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.

 

Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.

 

Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.

 

Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.

 

Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).

 

Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

 

Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).

 

Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).

 

Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)

 

II.           TEORI KONFLIK

Teori konflik ini sebenarnya dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karenanya tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionarisme struktural.

 

Teori ini mulai muncul dalam sosiologi Amerika serikat pada tahun 1960-an yang merupakan kebangkitan kembali berbagai gagasan yang diungkapkan sebelumnya oleh Karl Marx dan Max weber. Kedua tokoh ini merupakan "teoritis konflik" tetapi teori mereka berbeda satu sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu teori.konflik neo-Marxian dan teori konftik neo-weberian. Versi neo_Marx_ ian lebih terkenal dan berpengeruh ketimbang versi neo-Weberian.

 

Kedua teoretis konflik ini, Marx dan weber, adalah penolakan terhadap gagasan bahwa masyarakat cenderung kepada beberapa konsensus dasar atau harmoni, dimana struktur masyarakat bekerja untuk kebaikan setiap orang. Para teoretisi konflik memandang konflik dan pertentangan kepentingan dan concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain, struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka. Karena sumber-sumber daya ini dalam kadar tertentu selalu terbatas, maka konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi.

 

Marx dan weber menerapkan gagasan umum ini dalam teori posilogi mereka dengan cara yang berbeda dan mereka pandang menguntungkan. Karl Marx (stephen K. sanderson, 1993: 12-13) berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan Kelompok  muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produksi. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan'prajutri menjadi kelas sosial. Jadi kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersubordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi. secara alamiah saja, kelas-kelas yang tersubordinasi ini akan marah karena dieksploitasi dan terdorong untuk memberontak dari kelas bahwa menciptakan aparat politik yang kuat -negara yang mampu menekan pemberontakan tersebut dengan kekuatan.

 

Dengan demikian, teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. la juga berpendapat bahwa pertentangan antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan sosial. Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas.

 

III.        MACAM-MACAM TEORI PENYEBAB KONFLIK MENURUT SIMON FISHER.[1]

1.    Teori Hubungan Masyarakat

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok kelompok yang mengalami konflik, dan mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.

2.    Teori Negosiasi Prinsip

Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalahmembantu pihak-pihak yang mengalamikonflik untuk memisahkan perasaan pribadidengan berbagai masalah dan isu, danmemampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingankepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap, dan melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

3.    Teori Kebutuhan Manusia

Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia–fisik, mental, dan sosial–yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, dan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

4.    Teori Identitas.

Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka, dan meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.

5.    Teori Kesalahpahaman Antarbudaya

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, dan meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

6.    Teori Transformasi Konflik

Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagaimasalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teoriini adalah mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik, dan mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan.

 

 

IV.        APLIKASI TEORI DALAM CONTOH KONFLIK

1.    KONFLIK SAMPIT

Pembantaian yang terjadi tidak bisa disederhanakan sebagai konflik antara orang Dayak dengan Madura, apalagi sebagai konflik agama. Tapi akar dari masalah ini sudah lama tercipta ketika pemerintahan Orde Baru, yang didukung oleh lembaga-lembaga hutang internasional, secara bersama-bersama menanam modal di proyek-proyek besar, yang juga menanam akar dari konflik yang terjadi sekarang ini dan juga menggambarkan situasi kemanusiaan di Indonesia secara umum.[2]

 

Tidak diragukan bahwa akan terjadi lebih banyak konflik jika sebab-sebab di balik ketegangan di Kalimantan ini tidak diatasi. Walau stereotype budaya, atau ‘’bentrokan budaya’’ antara orang Madura dan bukan Madura sudah digunakan untuk menjelaskan kekerasan, adalah penting untuk melihat pada sebab-sebab yang lebih mendasar.

 

Konfrontasi yang mengandung kekerasan antara orang Dayak dengan pemukim Madura terjadi di bawah pemerintahan jaman Presiden Sukarno, di jaman Suharto, dan juga di bawah pemerintahan Wahid. Di Kalimantan Tengah, tahun lalu, empat orang tewas dalam insiden di Kumai pada Bulan Agustus serta di Ampalit pada Bulan Desember, dan banyak harta benda termasuk rumah yang juga dibakar. Bentrokan bisa ditarik sampai pada tahun 1950-an di wilayah tetangga Kalimantan Barat. Di sini pada tahun 1996 dan awal 1997 kekerasan antara kedua kelompok menyebabkan sedikitnya 600 orang tewas (DTE 32). Sebanyak 260 orang lagi tewas pada awal 1999 (DTE 41:4). Empat tahun setelah kerusuhan tersebut, diperkirakan 40.000 pengungsi Madura hidup dalam kondisi yang menyedihkan di penampungan-penampungan sementara di ibukota propinsi Kalimantan Barat, Pontianak.

 

Jika diaplikasikan kedalam teori konflik maka konflik sampit ini dapat dikatagorikan kedalam teori kesalah pahaman antar budaya antara orang dayak dan madura akan tetapi yang lebih menonjol dalam konflik ini adanya campur tangan pemerintah pada waktu itu, yaitu Rezim Soeharto dimana pihak asing mengambil peran , Penyebab utama dari konflik antara masyarakat adat dengan pemukim Madura adalah ‘pembangunan’ yang dipromosikan rejim Suharto selama tiga puluh tahun lebih. Sumber-sumber daya alam, termasuk hutan dan tambang Kalimantan diberikan kepada elite bisnis ( luar negri ) yang berkuasa sebagai konsesi. Pemilik adat - masyarakat adat Dayak - secara sistematis ditolak hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam. Mereka tidak punya jalan untuk menempuh langkah hukum dalam mempertahankan hak-hak mereka karena, berdasarkan undang-undang Indonesia, hutan merupakan milik negara. Sehingga jika diaplikasikan kedalam teori konfik maka konflik ini termasuk konflik kebutuhan manusia dimana orang dayak merasa hutan mereka diganggu dan direbut secara paksa tanpa adanya perundingan terlebih dahulu. Berasumsikan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia–fisik, mental, dan sosial–yang tidak terpenuhi atau dihalangi.

 

 

2.    KONFLIK SAMPANG

Pada 19 Juli 2012, BASSRA menyambut baik atas penanganan serius terhadap kasus aliran sesat Syiah. Akibat aliran sesat itu, pimpinan Syiah Kyai Tajul Muluk Basra telah divonis dua tahun penjara. ‘’Bila Tajul telah divonis sesat  maka pengikutnya harus kembali ke Aswaja atau ditindak sebagaimana Tajul Muluk,’’ kata Ali .

 

Ali menjelaskan masyarakat di wilayah itu menginginkan agar desa mereka seperti desa lain tidak ada aliran Syiah. Karena itu, masyarakat disana mendesak ulama agar menyampaikan tuntutan ini kepada pemerintah.

 

Selanjutnya, pada 7 Agustus 2012, ulama BASSRA menemui Forum Pimpinan Daerah (FORPIMDA) Sampang. Dalam pertemuan itu, ulama dan FORPIMDA membuat enam kesepakatan. Pertama, mengembalikan pengikut Tajul ke Aswaja sedang diupayakan oleh gabungan Kapolres, Nahdlatul Ulama (NU) dan MUI.

 

Kedua, Kapolres harus mengaktifkan pelarangan  senjata tajam di Karanganyem. Ketiga, anak-anak warga Syiah yang dibeasiswakan ke pondok-pondok Syiah adalah tanggung jawab  Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang. Pemkab Sampang bertugas untuk memulangkan dan memasukkan ke pondok-pondok Aswaja dengan biaya dari Pemkab.

 

Keempat, Ulama BASSRA bersama pemerintah Sampang akan mengawal naik banding Tajul Muluk melalui menemui Gubernur Jatim. Kelima, khusus untuk jangka pendek, kasus Sampang disepakati tidak mengangkat sebutan Syi’ah, cukup sebutan aliran sesat agar proses hukum Tajul Muluk berjalan lancar. Keenam, mengupayakan agar BAKORPAKEM Sampang bisa memutuskan dan menyetapkan bahwa Syiah itu sesat. Keputusan itu juga harus diajukan ke BAKORPAKEM Jawa Timur bahkan ke Pusat.

 

Seiring waktu berlalu, masyarakat Karanggayem kembali menuntut penanganan kasus sesatnya Syiah pada 23 Agustus 2012. Masyarakat menilai belum terlihat penanganan dari pihak manapun.

 

Namun, konflik akhirnya terlanjur pecah sebelum ulama BASSRA menemui Pemkab Sampang. Konflik itu, dipicu oleh anak-anak Syiah yang dipondokkan di YAPI Bangil dan Pekalongan. Para anak-anak Syiah itu, hendak berliburan lebaran di kampung halamannya.

 

Tetapi, tiba-tiba bus yang hendak menjemput mereka dihadang oleh masyarakat. Karena tidak terima, kaum Syiah kemudian menyerang dengan bom molotov dan terjadilah bentrokan. Lalu, kaum Sunni dari luar desa pun berdatangan. Karena banyaknya massa aparat kepolisian tidak dapat mencegah bentrokan tersebut.

 

Jika dilihat dari konfik yang terjadi antara masyarakat syiah dan sunni di sampang maka bisa digolongkan kedalam teori konflik hubungan masyarakat, Konflik yang terjadi disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat dalam hal ini sunni dan syi’ah , terjadi ketidak harmonisan diantara kedua belah pihak juga kurangnya komunikasi dan saling pengertian. Sehingga menimbulkan rasa minim toleransi dan tidak menerima keberagaman yang terajdi.

 

 

3.    KONFLIK POSO

Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang demokrasi berkeadilan.

 

Pada waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam dan kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi – implikasi kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.

 

Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir 1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di ikuti oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan tetapi berselang kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa ini yaitu : Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini adalah termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.

 

Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat kristiani yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu dapat dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada kerusuha. Oleh karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.

 

Jika dikaitkan kedalam teori konflik maka konflik poso termasuk dalam teori identitas Berasumsikan bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan, dilatar belakangi oleh konflik kecil antara pemuda kristen dengan remaja mesjid hingga menyebar menjadi konflik besar antara agama yang berbeda selain itu konflik ini terjadi karena adanya kaum minoritas dan mayoritas dimana moyoritas akan menyingkirkan minoritas.

 

 

V.           USAHA DALAM MENGURANGI KONFLIK ANTAR BUDAYA

Sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan strategi untuk mengurangi konflik antarbudaya, berikut ini ada beberapa teknik, kiat dan falsafah yang dapat membantu pengembangan sikap dan keterampilan berkomunikasi, yaitu:

Mengenali diri sendiri Intinya mengidentifikasi sikap, nilai, pendapat, kecenderungan diri sendiri, dan mengetahui citra diri yang dipersepsikan orang lain. Dengan demikian dapat menentukan apa saja yang dikatakan, juga apa yang didengar dari orang lain katakan.

 

Menggunakan kode yang sama karena makna terletak pada orang dan bukan pada kata-kata, maka untuk meningkatkan komunikasi, seseorang harus mengetahui kode khusus yang digunakan orang lain atau kelompok-kelompok tertentu.

 

Jangan terburu-buru ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu menunda penilaian dengan tidak terlalu cepat dalam menarik kesimpulan sebelum orang lain menyatakan seluruh pikiran dan perasaannya, dan memberi waktu yang cukup pada orang lain untuk mencapai tujuan pembicaraannya.

 

Memperhitungkan lingkungan fisik dan manusia menyadari lingkungan atau konteks tempat dimana peristiwa komunikasi terjadi. Dengan memperhatikan lingkungan fisik, akan menyadari makna-makna yang dilekatkan oleh macam-macam kebudayaan pada simbol-simbol yang ada, yang berpengaruh pada sikap dan perilaku orang-orang di sekitarnya.

 

Meningkatkan keterampilan berkomunikasi hal-hal yang berkaitan dengan kelancaran proses penyampaian dan penerimaan pesan, seharusnya diperhatikan berdasar pada dampak yang mungkin timbul akibat dari proses tersebut. Karenanya pemilihan topik dan gaya penyampaian pesan perlu disesuaikan dengan siapa berkomunikasi.

 

Mendorong umpan balik idealnya dalam sebuah proses komunikasi, bisa mendorong terlaksananya umpan balik. Memahami kuantitas dan kualitas umpan balik berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.

 

Mengembangkan empati ketidak mampuan untuk memahami dan menghargai pandangan dan orientasi orang lain sering kali menghambat komunikasi yang efektif. Oleh karena itu sebaiknya menerima adanya perbedaan dan berusaha untuk menempatkan diri pada posisi orang yang diajak berkomunikasi.

 

Mencari persamaan-persamaan di antara kebudayaan-kebudayaan berbeda meskipun diharuskan untuk memahami adanya perbedaan-perbedaan latar belakang sosial budaya yang memengaruhi komunikasi, tetapi dalam banyak hal ternyata persamaan-persamaanlah yang memungkinkan seseorang untuk menjalin hubungan.

 

 


 

BAB III
PENUTUP

 

I.                   KESIMPULAN

Konflik memang tidak bisa dihindarkan karena semua individu atau golongan mempunyai suatu kepentingan masing-masing. Sehingga suatu konflik harusnya bisa diselesaikan secara damai dengan kepala dingin. Suku, agama, ras, budaya, kepentingan, kesalahpahaman dan masih banyak lagi, itu adalah contoh dari penyebab konflik yang terjadi di Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang masih berpikir bahwa suatu masalah hanya dapat diselesaikan dengan otot bukan otak. Jadi seharusnya masyarakat Indonesia bisa lebih dewasa dalam menanggapi suatu masalah agar tidak terjadi konflik. Konflik tidak akan terjadi jika masyarakat Indonesia bisa menghormati, menghargai dan toleransi terhadap orang-orang yang memiliki agama, ras, suku dan budaya yang berbeda, agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi.

 

II.                KRITIK DAN SARAN

Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan kita mengenai konflik-konflik sosial yang terjadi,terutama tragedi nasional.

 

Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan penulisan ini di masa akan datang

 

Komentar